Foto (Sumber. Google).



Isra secara bahasa berasal dari kata 'saro' bermakna perjalanan dimalam hari. Mikraj itu secara semantik artinya naik, merujuk kepada peristiwa bersejarah yang dialami Nabi Muhammad SAW. 

Di tahun-tahun penuh duka karena ditinggalkan sang paman yang notabene sebagai perisai dari teror musuh-musuhnya dan istri tercintanya tempat mengadu keresahan sekaligus penopang perjuangannya yang militan. Nabi dimikrajkan Allah SWT naik ke langit menembus Sidratul Muntaha.

Selepas Isra Mikraj, Nabi turun ke bumi manusia dengan kondisi jiwa dan raga yang kokoh dengan kepribadian yang sudah memperoleh transformasi. Kepribadian yang telah dipoles Sang Khalik di takhta langit luhur. 

Rasa duka bermetamorfosis menjadi suplemen yang baru untuk terus melakukan perlawanan terhadap tindakan jahiliah dan medium peradaban yang sarat kegelapan.

Isra Mikraj hadir memberi kepastian bahwa evolusi kenabian hanya dapat diraih manakala di dalamnya terlibat niat yang kuat, persimpangan ideologis yang berdarah-darah. 

Di atas itu keikhlasan yang tanpa ufuk akhir. Dan itu terbuktikan dalam penggalan risalah kenabian. 

Dalam waktu relatif singkat selama 23 tahun, Rasulullah Muhammad berhasil dengan hebat mengubah tampilan peradaban dari yang semula bersumbukan kebodohan menjadi berkeadaban.

Bagi saja, jahiliah yang menjadi penanda kegelapan, tautan maknanya bukan saja pada masa primitif prakenabian. 

Tetapi juga harus dibubuhkan makna sebagai potret ketika suatu zaman disekap sistem yang menghujat akal sehat, minus nilai serta alpanya fajar ketuhanan. 

Jahiliah sebagai metafora, ketika manusia lebih doyan mendengar hawa nafsunya ketimbang menyimak suara hati nuraninya. 

Jahiliah sebagai simpul manakala ekonomi dimonopoli segelintir kapitalis, borjuis recehan, politik dicabut dari akarnya, sosial dikerok oligarki.

Sedangkan agama yang sebaiknya tampil sebagai kekuatan "ideologi kritis" yang menginterupsi semua itu justru larut dalam irama zamannya; hanya ramai sebatas upacara ritual tetapi kehilangan daya letup emansipatoriknya.

Bagi saya, Isra Mikraj kenabian sepatutnya menjadi dongkrak agar memompa semangat kemanusiaan yang sehat.

Isra Mikraj menjadi lumbung kesantunan yang bisa menaikkan indeks kebahagiaan, tidak saja secara material, namun juga rohaniah.

Dengan Isra Mikraj kesedihan harus dihentikan, kegalauan wajib di lupakan. Lalu kita kemudian menata batu bata kehidupan baru yang visioner. Sikap jahiliah dilucuti dan hanya menyisakan ruang bagi hadirnya tindakan-tindakan positif. 

Bukankah oleh-oleh terbesar Isra Mikraj berupa salat lima waktu dan fungsi utama sosial salat adalah menghentikan perbuatan mungkar dari lingkungan kita. 

Salat tidak hanya berdimensi vertikal sebagai kebaktian antara makhluk dan khaliknya tapi juga menempel di dalamnya atribut kemanusiaan. 

Salat yang kehilangan dimensi sosial-kemanusian ini hanya ditahbiskan Tuhan sebagai salat yang celaka, lalai dan main-main.

Kehangatan Isra Mikraj semestinya juga diperlebar pesannya dalam medan politik keseharian kita. 

Harus diakui, politik yang saat ini berpentas sebagai panglima pascareformasi dikobarkan kian menampakkan raut wajahnya yang menyedihkan. 

Filsuf urakan Eropa Timur, Slavoj Zizek menyebutnya sebagai politik yang dijauhkan dari "yang politik" (kebenaran). Nyaris yang kita tonton bagaimana kebanyakan para politisi bahkan birokrasi itu masih tetap sibuk dengan dirinya sendiri. 

Dari linimasa sosial media dan berita online, kabar yang diterima senantiasa adalah kerumunan yang mendramakan langkah-langkah politiknya berhasrat jangka pendek. 

Sementara sebagian birokrat yang mestinya bekerja takdirnya setali tiga uang; hanya menjadi menak dengan mental ingin dilayani rakyat karena ada maunya. 

Mencuatnya mentalitas inlander walaupun kaum kolonial telah pulang ke kampung halamannya, ternyata tidak otomatis ikut hilang.

Justru malah beranak pinak menjadi koloni gaya baru yang tidak segan-segan menyakiti warga bangsanya sendiri. 

Politik kini sungguh berada pada tebing tuna-kebenaran. Seandainya dalam filsafat ilmu teori kebenaran itu mencakup korespondensi, koherensi, konsistensi dan semantik, maka dalam politik kebenaran itu hanya berwatak tunggal; pragmatisme. 

Al-Farabi (877-950 M), dalam Fushul al Madani (Aforisme-Aforisme Negarawan) menyebutnya sebagai politik yang melakukan lompatan menikung dari al-madinah al-al-fadhilah (negara utama) menuju al-al-madinah al-khassah (negara rendahan). 

Al-Ghazali dalam at-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk menyebutnya sebagai fenomena politik yang hanya mengejar angka dan kuasa. Politik yang menjadi pelayan kursi serta gemerincing dinar, tanpa nilai dan kehilangan akal budi.

Bagi saya, Isra Mikraj secara sosiologis dalam konteks kekitaan, seharusnya diterjemahkan sebagai jembatan kebudayaan. Jembatan dimana Tuhan "transendensi" menjadi pandu dalam kehidupan kekitaan. 

Sudah betul apa yang diwariskan kaum pergerakan saat menempatkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai sila pertama. 

Sayang diakui atau tidak, sila pertama itu tidak kita turunkan secara fungsi dalam jembatan kebudayaan dalam rute kekitaan. 

Sehingga nyaris ditengah gemuruh semangat keberagaman, meruak juga perilaku KKN dan menyimpang. Saling mengasah pedang yang jauh dari tajamnya argumentasi.

Diam-diam apa yang dirisaukan Bung Karno ternyata terbukti; "Munculnya ketuhanan yang tidak berkebudayaan". Kita simak pekikan dari Bung Besar itu; 

"Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri... Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan yakni, dengan tiada 'egoisme agama'.

Alhasil, dalam konteks kekitaan Isra Mikraj harus dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kerakyatan yang berkeadaban. 

Dalam konteks keumatan menjadi pintu masuk menciptakan umat dengan kesadaran politik inklusif, demokratik dan kosmopolit. 

Dalam aras personal Isra Mikraj kita jadikan sebagai haluan untuk melakukan pengayaan spritualitas menuju pengalaman iman yang hidup dan menggetarkan.


Oleh; Zulkarnain Musada