Masse’di
Oleh: Taufiq Saifuddin
(Alumni DDI Takkalasi)

Bagi anda yang nyantri di DDI Takkalasi dekade tahun 1990-an gema suara bambu yang saling bergesekan adalah nuansa. Sepoi angin menerpa rindang pohon sukun (baca: baka’) adalah kenangan. Lain hal dengan generasi kami yang nyantri pada belahan 2000-an, dimana pohon bambu dan sukun tak lagi ada. Keduanya hilang seiring bertambahnya jumlah santri berikut asramanya. 

Generasi kami adalah generasi yang menikmati indahnya berebut timba sumur sejengkal sebelum lonceng sekolah dibunyikan. Anak muda bersarung, tanpa baju selepas dzuhur, di tangan kanannya tergenggam sendok dan di kirinya Al-Qur’an, sambil menanti beras selesai ditanak. Mengaji dan memasak adalah dua aktivitas bersamaan kala matahari sejajar dengan quba Masjid. 

Tulang punggung saat ini adalah generasi 2010-an. Mereka yang kesehariannya telah disuguhi catering tiga kali sehari. Jumlahnya pun lebih banyak dibanding dua dekade sebelumnya. Santri di zaman ini juga perokok aktifnya tidak sebanyak dahulu, hehehe. 

Lepas dari latar sejarah tersebut, masse’di nampaknya menjadi kata yang maknanya mewakili kita semua, santri DDI Takkalasi. Di memori kita masih melekat hafalan alfiah, upacara bendera dan tata cara mencuri mangga. 

Saya rasa tidak akan ada alumni yang akan mendebat jika jerih payah al-Mukarram Anre Gurutta Fashih Mustafa (almarhum) membuat kita kini bersatu. Darinya kita memiliki arti dan menjadi seseorang. Beliau adalah sosok yang menyatu padukan kata dan perbuatan dalam keseharian. 

Setelah utak-atik memori, catatan ini ingin bercerita perihal seluk-beluk santri DDI Takkalasi. Didalamnya ada santri yang kadang berpunggungan dan kadang bergandengan tangan. 

Ikrar Iqra’ dari AG Fashih Mustafa

Dalam sebuah risalah yang pernah digoreskan H Agusssalim, tokoh Masyumi termasyhur sekaligus murid dari pendiri Syarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Beliau bertutur sejarah literasi Islam bermula 70 tahuh sejak Baginda Nabi Muhammad SAW wafat. 

Tradisi itu dimulai oleh cendekiawan kala itu bernama Ibnu Hisyam murid dari Ibnu Abbas. Jika berkaca pada pendapat ini, maka literasi ‘santri’ telah berlangsung pada awal abad ke-8 M. 

Iqra’ adalah kata yang seringkali keluar dari mulut Gurutta Fashih. Kata itu memiliki padanan makna yang beragam ketika menemukan konteksnya. Bagi santri yang ‘macca’ iqra’ adalah rajin pengajian dan menghafal ragam disiplin ilmu alat di pesantren. 

Lain cerita dengan santri ‘betta’, iqra’ adalah barakka. Kebanyakan santri berpredikat seperti ini menemukan makna iqra’ setelah di luar pesantren. Ya, barakka bagi santri betta adalah proses becoming (menjadi). Sebab, kebanyakan santri demikian ini, tidak begitu kuat menghafal sehingga berakibat pada tumbuhnya rasa malas, hehehe. 

Di zaman saya ketika masih nyantri, kesamaan dua model peng-iqra’ diatas sama-sama akan berhamburan kala aungan Kawasaki Binter Gurutta Fashih memasuki lokasi pondok. Suara motor ciptaan Jepang 1980-an itu seolah menjadi nada fals di telinga para santri. Lapangan, pelataran Masjid dan aula sekolah menjadi kosong saat motor belum nampak dihadap mata. 

Sumur, tempat berkumpul jelang azan Magrib. Timba adalah benda yang bagi santri junior sulit untuk didapatkan ketika matahari sudah sejajar dengan hamparan laut. Ya, senior memang tidak pernah salah. Tak jarang, semenit sebelum shalawat di Masjib dimulai, batu bata yang entah dari mana tiba-tiba mendarat di tubuh teman-teman. 

Gurutta Fashih tak ingin lagi menegur, beliau langsung bertindak. Sikap seperti ini, belakangan saya ketahui merupakan model dari kekuasaan simetris dalam teori politik modern. Pola hubungan kepemimpinan antara Guru dan Murid yang nampak kejam, tapi punya efek di masa mendatang. Itulah mungkin makna barakka dari iqra’ kita di pesantren. 

Seperti ungkapan cendekiawan M Natsir, seberih-bersihnya Tauhid (iman), sedalam-dalamnya ilmu dan sepintar-pintarnya siasat. Dalam konteks batu bata tadi, Gurutta Fashih ingin menunjukkan bahwa azan Maghrib adalah pertanda sang hamba harus bersegera menyembah Sang Khalik. Pengajian segera dimulai lepas shalat Magrib dan siasat batu bata antara pemimpin dan yang dipimpinnya. 

Pada sebuah episode DDI Takkalasi di pertengahan tahun 2000an, Gurutta pernah berpetuah, “Saya haramkan ilmu saya bagi para santri yang merokok”. Bagi kita yang tidak mengerti majaz, ungkapan ini kejam sekaligus menerkam. Bagaimana mungkin seorang Maha Guru kharismatik berujar demikian pada muridnya. 

Yang mengherankan adalah, tak berselang jauh dari ungkapan itu terucap, setelah azan subuh, sebelum Gurutta membuka lembaran kitab maraqi al-ubudiyah, dengan suara parau ia berkata; “ayna Taufiq?”. Sontak, nalar awam saya pun bertanya, bagaimana mungkin Gurutta dengan begitu marahnya mengharamkan ilmunya tetiba saja menyampaikan cintanya sebelum kitab kuning dibukanya. 

Saya pun akhirnya mafhum ada hubungan antara marah dan cintanya Gurutta, bak Imam Al-Ghazali merumuskan ‘benang tipis antara halal dan haram’. Pengharaman ilmu bagi santri perokok adalah ketegasan Gurutta atas bad habit muridnya. Lalu, dicarinya kita jelang pengajian subuh adalah bukti kecinttan beliau pada santrinya.

Demikianlah Gurutta Fashih, sosok sederhana sekaligus punya kedalaman khazanah. Sejak duduk di bangku Madrasa Aliyah, seharipun tak pernah nampak Gurutta menggunakan sepatu. Entah mengapa, saya menyebut itu pesan ‘jari kaki dan ilmu faraidh’. Konon kabarnya, Gurutta menggunakan jari kakinya dalam menghitung jumlah harta warisan ketika mengajarkan ilmu waris tersebut. 

Gurutta pemarah, Gurutta pecinta. Beliau sadar betul pesantren yang didirikannya, kelak melahirkan cendekiawan sekaligus ‘preman’ dalam makna luas. Tak sekalipun beliau membedakan secara berlebihan antara santri macca dan santri betta. Kedua predikat santri itu, disadari betul oleh Gurutta adalah muridnya. Kelak kesemuanya akan mengisi dan memimpin struktur lebih luas lagi di luar pesantren. Ya, seperti yang kita sandang saat ini sebagai alumni dengan latar profesi mengitari. 

Makna Barakka’

Telah mafhum lah kita, baik santri macca dan santri betta sama-sama mendapatkan barakka’ sesuai dengan porsi iqra’nya masing-masing saat di pesantren dulu. Ya, barakka’ adalah proses menjadi. Menjadi faham dari awalnya tidak faham. Menjadi bisa dari awalnya tidak bisa. 

Barakka’ bukanlah kata sifat yang abastrak, ia adalah kata kerja kongkrit yang sebenarnya. Seperti ungkapan cendekiawan Mesir terkemuka, Hasan Hanafi, proses belajar sejati itu didalamnya ada kenakalan sekaligus ketekunan, ia lalu menjelma menjadi kesadaran sejati. Mungkin inilah makna minal aqidatu ila al-tsaura  nya Hasan Hanafi. 

Belajar itu sesungguhnya, kesejatian bagi kita alumni DDI Takkalasi. Kita merasakan sekaligus melakukannya. Sesingkat apapun masa belajar kita di pesantren, barakka’ tetap punya tempat disanubari dan aktivitas kemanusiaan kita sebagai alumni DDI Takkalasi. 

Lepas dari predikat macca dan betta, toh kita semua tetap punya arti dalam masyarakat. Ulama besar sekelas Ibnu Khaldun saja punya periodeisasi kenakalan sekaligus ketekunan, darinya decak kagum jagad dunia kita peroleh, beliau berhasil mendobrak peradaban ilmu-ilmu sosial. 

Kitalah alumni DDI Takkalasi, yang oleh Mulla Sadra disebut sebagai puncak dari segala ciptaan Allas SWT. Berkah ini kita dapatkan secara cuma-cuma dari para Guru kita di pesantren. Lafadz-lafadz hafalan pun masih terngiang di memori, begitu juga dengan buah pisang dan mangga yang oleh kita kadaneg kekhilafan diciptakan guna mengambilnya. 

Ibarat sebuah pilar, dalam makna barakka’ menggandung kata sakti. Kata ini mengingatkan kita akan permulaan dan menyadarkan kita akan akhir. Kata sakti selalu lahir dari pemikiran tajam dan hati yang jernih. Tugas kita sebagai alumni DDI Takkalasi selanjutnya adalah menjadikan tatanan diluar pesantren sesuai dengan keinginan dan harapan Qur’ani. 

Seperti apa yang pernah dikatakan Ali bin Abi Thalib, manusia di dunia ini tertidur lelap, mereka baru terjaga sadar tatkala direbut maut. Lalu Sokrates berkata, semua orang itu tahu. Kata Rumi, hanya saja mereka lalai. Semua ungkapan itu memesankan bahwa barakka’ bermakna keluar dari situasi krisis, menjadi sadar dan cermat menilai. Wallahu a’lam bisshawab.